Monday, December 28, 2009
misi ana kali ni x berjaye..
Friday, December 25, 2009
hah..


Tuesday, December 15, 2009
hati mukmin pasti menangis...
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.
Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.
Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz... InsyaALlah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.
"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan masuk agama kami."
Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.
"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung.
"Ah... seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."
Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak comel itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya.
Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi... "
Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai... siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.
"Hah... siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil.
"Hai budak... ! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria, "Abi... Abi... Abi... "
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.
Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha... " Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.
"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu... " Terdengar suara Roberto meminta belas. Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah... '.
Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini. Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya...
kisah dua beradik dan ayah..
Sampailah suatu masa ayah kepada kedua beradik itu memanggil anaknya untuk bertanya tentang satu soalan.
Ayahnya berkata, “Mengapakah itik mengeluarkan bunyi yang sangat bising?”.
Anaknya menjawab, “Oh, jawapannya mudah saja. Berdasarkan kajian sains, itik mengeluarkan bunyi yang bising kerana lehernya yang panjang dan.........(bla....bla...)”.
Itulah jawapan Ali yang sangat melebar panjang.
Tetapi berlainan pula dengan Ahmad.
Ayahnya mula tersenyum sinis dengan menyangkakan bahawa anak keduanya pasti tidak akan dapat menjawab soalan. Tetapi Ahmad menjawab dengan begitu yakin sekali dengan hanya tiga patah perkataan.
Jawabnya, “Semuanya kerana Allah”.
Terbahak-bahak Ali mendengar jawapan adiknya itu. Baginya jawapan itu tidak masuk akal. Ahmad tidak terkejut dengan kata-kata abangnya kerana dia sangat yakin dengan jawapan yang dipilih.
Dengan begitu yakin lagi dia berkata, “Semuanya kerana Allah. Kalau tidak kerana Allah bagaimana katak mengeluarkan bunyi yang kuat sedangkan lehernya pendek dan tidak sama seperti itik. Dan bagaiman pula dengan zirafah yang mempunyai leher panjang tetapi adakah dia mempunyai suara yang lantang?”
Abang dan ayahnya terkedu kerana mendapat tamparan yang hebat. Semua jawapan itu tidak pernah terlintas sedikit pun dalam minda mereka.
Ahmad menyambung lagi, “Segala yang ada di dunia ini semuanya kehendak Allah, semuanya kerana Allah. Firman Allah ‘kun fayakun’ maka jadilah ianya dengan kehendak Allah. Jadi janganlah kita perlekehkan soal yang kecil sekali pun. Kerana setiap apa yang berlaku itu adalah ketentuan Allah. Allah juga menciptakan kita bukan dengan sengaja tetapi ada sebabnya iaitu
‘Dan Allah tidak menciptakan jin dan manusia itu selain untuk beribadah kepada Allah’ (Az-zariyat).
Dan banyak lagi firman Allah jika kita mengkajinya”.
Jadi sama-samalah kita ambil pengajaran dari cerita ini. Segala yang salah bolehlah dibetulkan. Wallahua’lam.
suatu kisah yang sedih...
20 tahun yang lalu saya melahirkan seorang bayi laki-laki, wajahnya comel tetapi nampak bodoh. Ali, suamiku memberinya nama Yusri. Semakin lama semakin nampak jelas bahawa anak ini sedikit terkebelakang. Saya berniat mahu memberikannya kepada orang lain sahaja supaya dijadikan budak atau pelayan bila besar nanti. Namun Ali mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga.Pada tahun kedua kelahiran Yusri, saya pun melahirkan pula seorang anak perempuan yang cantik. Saya menamakannya Yasmin. Saya sangat menyayangi Yasmin, begitu juga Ali. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikan pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Yusri. Ia hanya memiliki beberapa helai pakaian lama. Ali berniat membelikannya, namun saya selalu melarang dengan alasan tiada wang. Ali terpaksa menuruti kata saya.
Saat usia Yasmin 2 tahun, Ali meninggal dunia. Yusri sudah berumur 4 tahun ketika itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin bertambah. Saya mengambil satu tindakan yang akhirnya membuatkan saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampung kelahiran saya bersama Yasmin. Saya tinggalkan Yusri yang sedang tertidur lelap begitu saja.
Setahun.., 2 tahun.., 5 tahun.., 10 tahun.. berlalu sejak kejadian itu. Saya menikah kembali dengan Kamal, seorang bujang. Usia pernikahan kami menginjak tahun kelima. Berkat Kamal, sifat-sifat buruk saya seperti pemarah, egois dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Yasmin sudah berumur 15 tahun dan kami menyekolahkan dia di sekolah jururawat. Saya tidak lagi ingat berkenaan Yusri dan tiada memori yang mengaitkan saya kepadanya. Hinggalah ke satu malam, malam di mana saya bermimpi mengenai seorang anak. Wajahnya segak namun kelihatan pucat sekali. Dia melihat ke arah saya. Sambil tersenyum dia berkata;
"Makcik, makcik kenal mama saya? Saya rindu sekali pada mama!"
Sesudah berkata demikian dia mulai pergi, namun saya menahannya.
"Tunggu..., saya rasa saya kenal kamu. Siapa namamu wahai anak yang manis?"
"Nama saya Yusri, makcik."
"Yusri...? Yusri... Ya Tuhan! Benarkah engkau ni Yusri???"
Saya terus tersentak dan terbangun. Rasa bersalah, sesal dan pelbagai perasaan aneh yang lain menerpa diri saya pada masa itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah yang terjadi dulu seperti sebuah filem yang ditayangkan kembali di kepala saya. Baru sekarang saya menyedari betapa jahatnya perbuatan saya dulu. Rasanya seperti mahu mati saja saat itu.
Ya, saya patut mati..., mati..., mati...!
Ketika tinggal seinci jarak pisau yang ingin saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Yusri melintas kembali di fikiran saya.
Ya Yusri, mama akan menjemputmu Yusri, tunggu ya sayang !
Petang itu saya membawa dan memarkir kereta Civic biru saya di samping sebuah pondok, dan ia membuatkan Kamal berasa hairan. Beliau menatap wajah saya dan bertanya;
"Hasnah, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita berada di sini?"
"Oh abang, abang pasti akan membenci saya selepas saya menceritakan hal yang saya lakukan dulu."
Saya terus menceritakan segalanya sambil teresak-esak. Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Selepas tangisan saya reda, saya keluar dari kereta dengan diikuti oleh Kamal dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter di hadapan saya. Saya mula teringat yang saya pernah tinggal dalam pondok itu dan saya tinggalkannya.
Yusri.. Yusri... Di manakah engkau, nak?
Saya meninggalkan Yusri di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri pondok tersebut dan membuka pintu yang diperbuat daripada buluh itu.
Gelap sekali.
Tidak terlihat sesuatu apapun di dalamnya!
Perlahan-lahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan di dalam ruangan kecil itu. Namun saya tidak menemui sesiapapun di dalamnya. Hanya ada sehelai kain buruk yang berlonggok di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan betul-betul. Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain itu. Ini adalah baju buruk yang dulu dipakai oleh Yusri setiap hari.
Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sangat sedih dan bersalah, sayapun keluar dari ruangan itu. Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Kamal mulai menaiki kereta untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat seseorang berdiri di belakang kereta kami. Saya terkejut sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang sangat kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Saya terkejut lagi apabila dengan tiba-tiba dia menegur saya. Suaranya parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Apa yang kamu mahu?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya;
"Ibu, apakah ibu kenal dengan seorang anak bernama Yusri yang dulunya tinggal di sini?"
Dia menjawab;
"Kalau kamu ibunya, kamu adalah perempuan terkutuk!! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Yusri terus menunggu ibunya dan memanggil;
'Mama, mama!'
"Kerana tidak tahan melihat keadaannya, kadang-kadang saya memberinya makan dan mengajaknya tinggal bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemungut sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu!"
"Tiga bulan yang lalu Yusri meninggalkan sehelai kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."
Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mama, mengapa mama tidak pernah kembali lagi...? Mama marah pada Yusri, ya? Mama, biarlah Yusri yang pergi saja, tapi mama harus berjanji mama tidak akan marah lagi pada Yusri."
Saya menjerit histeria membaca surat itu.
"Tolong bagi tahu.. di mana dia sekarang? Saya berjanji akan menyayanginya sekarang! Saya tidak akan meninggalkannya lagi! Tolonglah cakap...!!!"
Kamal memeluk tubuh saya yang terketar-ketar dan lemah.
"Semua sudah terlambat. Sehari sebelum kamu datang, Yusri sudah meninggal dunia. Dia meninggal di belakang pondok ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang pondok ini tanpa berani masuk ke dalamnya. Dia takut apabila mamanya datang, mamanya akan pergi lagi apabila melihatnya ada di dalam sana. Dia hanya berharap dapat melihat mamanya dari belakang pondok ini. Meskipun hujan deras, dengan keadaannya yang lemah ia terus berkeras menunggu kamu di sana . Dosa kamu tidak akan terampun!"
Ya Allah! Ampunkanlah dosaku! Yusri, ampunkan mama nak!
Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua. Janganlah menyalahkan apa yang sudah diberikan oleh Allah. Tetapi hargailah apa yang diberikan oleh Allah. Dan cuba bersabar. Kerana DIA tidak akan memberikan sesuatu apapun dengan sia-sia.
Monday, December 14, 2009
ketaatan Uwais Al-Qarni...
“ Akan lahir di kalangan Tabiin seorang insan yang doanya sangat makbul. Namanya Uwais al-Qarni dan dia akan lahir di zaman kamu. ”
Kita telah mengenali siapa dia Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali iaitu orang-orang yang telah disenaraikan sebagai “ al-Mubasyirun bil Jannah ” iaitu mereka sudah dijamin masuk syurga. Nabi seterusnya berkata kepada Umar dan Ali :
“ Di zaman kamu nanti akan lahir seorang insan yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdoa untuk kamu berdua.”
Umar dan Ali bertanya kepada Nabi s.a.w. soalan yang sama iaitu :
“ Apakah yang patut saya minta daripada Uwais al-Qarni, Ya Rasulullah? "
Nabi menjawab :
“ Kamu minta kepadanya supaya dia berdoa kepada Allah agar Allah ampunkan dosa-dosa kalian."
Banyak peristiwa sahabat yang berjumpa dengan Nabi s.a.w. , minta sesuatu yang baik kepada mereka, Nabi s.a.w. menjawab :
“ Pohonlah al-Maghfirah daripada Allah swt. ”
Maka topik al-Maghfirah (keampunan) ini menjadi topik yang begitu dicari, yang begitu relevan, hatta kepada orang yang telah disenaraikan sebagai ahli syurga. Kalau secara logiknya, ahli syurga seolah tidak perlu kepada pengampunan dosa daripada Allah s.w.t. kerana mereka sudah dijamin masuk syurga, namun tidak, Nabi s.a.w. masih menekankan supaya meminta Allah untuk mengampunkan dosa.
Memang benarlah firasat seorang Nabi, Uwais al-Qarni telah muncul di zaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali. Mereka memang menunggu dan mencari kabilah-kabilah yang datang dari arah Yaman ke Madinah, akhirnya bertemu mereka dengan Uwais al-Qarni. Dengan pandangan mata kasar, tidak mungkin dia orang yang Nabi s.a.w. maksudkan. Kerana orang itu pada pandangan insan-insan biasa atau orang-orang yang datang bersama dengannya bersama kabilah menganggapkan dia seorang yang kurang berakal.
Siapakah Uwais Al-Qarni?
Asalnya berpenyakit sopak, badannya putih, putih penyakit yang tidak digemari. Walaupun dia seorang berpenyakit sopak tetapi dia seorang yang soleh, terlalu mengambil berat tentang ibunya yang uzur dan lumpuh. Dia telah begitu tekun untuk mendapatkan keredhaan ibunya. Bapa dia meninggal dunia ketika dia masih kecil lagi. Dia sopak sejak dilahirkan dan ibunya menjaga dia sampai dia dewasa.
Suatu hari ibunya memberitahu kepada Uwais bahawa dia ingin sangat untuk pergi mengerjakan haji. Dia menyuruh Uwais supaya mengikhtiarkan dan mengusahakan agar dia dapat dibawa ke Mekah untuk menunaikan haji. Sebagai seorang yang miskin, Uwais tidak berdaya untuk mencari perbelanjaan untuk ibunya kerana pada zaman itu kebanyakan orang untuk pergi haji dari Yaman ke Mekah mereka menyediakan beberapa ekor unta yang dipasang di atasnya “ Haudat ”. Haudat ini seperti rumah kecil yang diletakkan di atas unta untuk melindungi panas matahari dan hujan, selesa dan perbelanjaannya mahal. Uwais tidak mampu untuk menyediakan yang demikian, unta pun dia tidak ada, nak sewa pun tidak mampu.
Ibu Uwais semakin uzur hari demi hari dan berkata kepada anaknya pada suatu hari :
“ Anakku, mungkin ibu dah tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkanlah agar ibu dapat mengerjakan haji. ”
Uwais mendapat suatu ilham. Dia membeli seekor anak lembu yang baru lahir dan sudah habis menyusu. Dia membuat sebuah rumah kecil (pondok) di atas sebuah “Tilal” iaitu sebuah tanah tinggi (rumah untuk lembu itu di atas bukit). Apa yang dia lakukan, pada petang hari dia dukung anak lembu untuk naik ke atas “Tilal”. Pagi esoknya dia dukung lembu itu turun dari “Tilal” untuk diberi makan. Itulah yang dilakukannya setiap hari. Ada ketikanya dia mendukung lembu itu mengelilingi bukit tempat dia beri lembu itu makan. Perbuatan yang dilakukannya ini menyebabkan orang kata dirinya gila.
Memang pelik, membuatkan rumah untuk lembu di atas bukit, kemudian setiap hari mengusung lembu, petang bawa naik, pagi bawa turun bukit. Namun sebenarnya jika dilihat di sebaliknya, Uwais seorang yang bijak. Lembu yang asalnya hanya 20kg, selepas enam bulan lembu itu sudah menjadi 100kg. Otot-otot tangan dan badan Uwais pula menjadi kuat hinggakan dengan mudah mengangkat lembu seberat 100kg turun dan naik bukit setiap hari.
Selepas lapan bulan, telah sampai musim haji, rupa-rupanya perbuatannya itu adalah satu persediaan untuk dia membawa ibunya mengerjakan haji. Dia telah memangku ibunya dari Yaman sampai ke Mekkah dengan kedua tangannya. Di belakangnya dia meletakkan barang-barang keperluan seperti air, roti dan sebagainya. Lembu yang beratnya 100kg boleh didukung dan dipangku inikan pula ibunya yang berat sekitar 50kg. Dia membawa (mendukung dan memangku) ibunya dengan kedua tangannya dari Yaman ke Mekah, mengerjakan Tawaf, Saie dan di Padang Arafah dengan senang sahaja. Dan dia juga memangku ibunya dengan kedua tangannya pulang semula ke Yaman dari Mekah.
Setelah pulang semula ke Yaman, ibunya bertanya :
“ Uwais, apa yang kamu doa sepanjang kamu berada di Mekah? ”
Uwais menjawab :
“ Saya berdoa minta supaya Allah mengampunkan semua dosa-dosa ibu”.
Ibunya bertanya lagi :
“ Bagaimana pula dengan dosa kamu? ”
Uwais menjawab :
“ Dengan terampun dosa ibu, ibu akan masuk syurga, cukuplah ibu redha dengan saya maka saya juga masuk syurga. "
Ibunya berkata lagi :
“Ibu nak supaya engkau berdoa agar Allah hilangkan sakit putih (sopak) kamu ini. "
Uwais berkata :
“ Saya keberatan untuk berdoa kerana ini Allah yang jadikan. Kalau tidak redha dengan kejadian Allah, macam saya tidak bersyukur dengan Allah Ta’ala. "
Ibunya menambah :
“ Kalau nak masuk syurga, kena taat kepada perintah ibu, ibu perintahkan engkau berdoa. "
Akhirnya Uwais tidak ada pilihan melainkan mengangkat tangan dan berdoa. Uwais berdoa seperti yang ibunya minta supaya Allah sembuhkan putih yang luar biasa (sopak) yang dihidapinya itu. Namun kerana dia takut masih ada dosa pada dirinya dia berdoa :
“ Tolonglah Ya Allah! Kerana ibuku, aku berdoa hilangkan yang putih pada badanku ini melainkan tinggalkan sedikit. ”
Allah s.w.t. menyembuhkan serta merta, hilang putih sopak di seluruh badannya kecuali tinggal satu tompok sebesar duit syiling di tengkuknya. Tanda tompok putih kekal pada Uwais kerana permintaannya, kerana ini (sopak) adalah anugerah, maka inilah tanda pengenalan yang disebut Nabi s.a.w. kepada Umar dan Ali.
" Tandanya kamu nampak di belakangnya ada satu bulatan putih, bulatan sopak. Kalau berjumpa dengan tanda itu dialah Uwais al-Qarni. "
Tidak lama kemudian, ibunya telah meninggal dunia. Dia telah menunaikan kesemua permintaan ibunya. Selepas itu dia telah menjadi orang yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah. Sayyidina Umar dan Sayidina Ali dapat berjumpa dengan Uwais dan seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah s.a.w. , mereka meminta supaya Uwais berdoa agar Allah swt. mengampunkan semua dosa-dosa mereka. Ketika Uwais al-Qarni berjumpa Umar dan Ali, dia berkata :
“ Aku ini datang dari Yaman ke Madinah kerana aku ingin menunaikan wasiat Nabi kepada kamu iaitu supaya kamu berdua berjumpa dengan aku. "
Maka Uwais pun telah mendoakan untuk mereka berdua.
*Dipetik daripada Tazkirah Oleh Tuan Guru Dato' Dr. Haron Din
anugerah buat teman...
SAHABAT(TEMAN)
BERSAUDARA
PENASIHAT
SUSAH SENANG BERSAMA
PENDORONG
SANGGUP BERPISAH KERANA KEBENARAN
2 PERKARA YANG MESTI KITA LUPAKAN
KEBAIKAN KITA PADA ORANG LAIN
KEBURUKAN ORANG LAIN PADA KITA
2 PERKARA YANG MESTI KITA INGAT
KEBURUKAN KITA PADA ORANG LAIN
KEBAIKAN ORANG LAIN PADA KITA
MUTIARA KATA SEORANG SUFI
HAK SEORANG KAWAN
JIKA ENGKAU TIDAK MAMPU MEMBERI BANTUAN KEPADANYA,
JANGANLAH PULA ENGKAU MEMBERI KESUSAHAN KEPADANYA,
JIKA ENGKAU TIDAK MAMPU MENGGEMBIRAKANNYA,
JANGANLAH PULA ENGKAU MENDUKACITAKANNYA,
JIKA ENGKAU TIDAK MAMPU MEMUJINYA,
JANGANLAH PULA ENGKAU MENGEJINYA...
siapa tahu suatu hari nanti ia menjadi orang yang engkau benci pula
BENCILAH orang yang engkau benci sekadarnya saja,
siapa tahu suatu hari nanti ia menjadi orang yang engkau cintai pula